Pasal 5 ayat 4 UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa warga negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Perlunya perhatian khusus yang siswa yang memiliki kecerdasan/bakat istimewa (CI+BI), dapat dianggap selaras dengan fungsi utama pendidikan, yaitu mengembangkan potensi siswa secara utuh dan optimal. Strategi pendidikan yang ditempuh selama ini bersifat masal memberikan perlakuan standar/rata-rata kepada semua siswa, sehingga kurang memperhatikan perbedaan antar siswa dalam kecakapan, minat, dan bakatnya. Dengan strategi semacam ini, keunggulan akan muncul secara acak dan sangat tergantung kepada motivasi belajar siswa serta lingkungan belajar dan mengajarnya. Oleh karena itu perlu dikembangkan keunggulan yang dimiliki oleh siswa agar potensi yang dimiliki menjadi prestasi yang unggul. Anak CI+BI (gifted-talented) berbeda dengan dengan anak pintar (brigth/higt achiever). Anak-anak pintar tidak bisa dimasukkan ke dalam kelompok gifted-talented karena mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Sekalipun mereka juga memiliki tingkat intelegensi yang tinggi, namun kemampuan mereka dalam analisis, abstraksi dan kreativitas tidak se luar biasa anak-anak CI+BI. Berbagai perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Perhatian khusus kepada siswa CI+BI selaras dengan fungsi utama pendidikan, yaitu mengembangkan potensi siswa secara utuh dan optimal. Pengembangan potensi tersebut memerlukan strategi yang sistematis dan terarah. Tanpa layanan pembinaan yang sistematis terhadap siswa yang berpotensi cerdas dan atau bakat istimewa, bangsa Indonesia akan kehilangan kekayaan SDM yang tidak terukur nilainya. Perhatian khusus tersebut tidak dimaksudkan melakukan diskriminasi, tetapi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi siswa. Melalui penyelenggaraan pendidikan khusus bagi siswa CI+BI, diharapkan potensi-potensi yang selama ini belum dikembangkan secara optimal, akan tumbuh dan menunjukkan kinerja yang baik. Kondisi ini pada gilirannya akan dapat memberi kontribusi terhadap kehormatan dan nama baik bangsa Indonesia di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Kebijakan pemerintah dibidang pendidikan untuk anak CI+BI telah dilaksanakan sejak tahun 1974. Bentuknya: PPSP, sekolah unggul, sekolah plus, sekolah percontohan, sampai dengan program aksel. Namun kebijakan itu dari waktu ke waktu terus berganti tanpa ada kesinambungan. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara gamblang telah menyebutkan bahwa siswa CI+BI berhak mendapat pendidikan khusus. Meskipun UU tersebut sudah berlaku sejak 7 tahun yang lalu, namun sampai saat ini layanan pendidikan semacam itu masih minimal. Menurut berbagai hasil penelitian, terdapat 2% dari populasi anak usia sekolah, adalah anak yang memiliki potensi cerdas/berbakat istimewa. Jika mengacu pada data BPS 2005, terdapat 65.291.624 anak usia sekolah (usia 4-19 thn). Artinya terdapat 1.305.832 anak Indonesia memiliki potensi cerdas/berbakat istimewa (CI+BI). Meskipun jumlah tersebut relatif kecil, tetapi layanan kepada mereka tidak cukup memadai. Satu-satunya bentuk layanan pendidikan bagi anak CI+BI hanyalah dalam bentuk percepatan (akselerasi). Berdasarkan data Asossiasi CI+BI tahun 2008/9, Jumlah siswa CI+BI yang sudah terlayani di sekolah akselerasi masih sangat kecil, yaitu 9.551 orang yang berarti baru 0,73% siswa CI+BI yang terlayani. Ditinjau dari segi kelembagaan, dari 260.471 sekolah, baru 311 sekolah yang memiliki program layanan bagi anak CI+BI. Sedangkan di madrasah, dari 42.756 madrasah, baru ada 7 madrasah yang menyelenggarakan program aksel. Ini berarti masih sangat rendah sekali jumlah sekolah/madrasah yang memberikan layanan pendidikan kepada siswa CI+BI, serta keterbatasan dari ragam pelayanan. Sebagaian besar dari anak-anak tersebut “dipaksa” mengikuti pendidikan yang sama dengan anak-anak normal, sehingga mereka mengalami kondisi “underachiever” Saat ini sudah ada lembaga/sekolah standar isi bagi pendidikan khusus bagi anak berkelainan/ cacat (sejak tahun 2006). Kemudian dilengkapi dengan Permendiknas tentang Prosedur operasional standar UN, standar proses, standar sarana, dan standar penilaian. Hal demikian tidak terjadi pada pendidikan khusus untuk siswa CI+BI. Siswa CI+BI memperoleh muatan kurikulum yang sama dengan siswa reguler, dan hanya memperoleh peluang untuk mempercepat penyelesaian studi (program aksel). Hal ini mengakibatkan potensi kecerdasan yang dimiliki tidak dapat berkembang secara optimal. Di sisi lain, tidak ada deskripsi yang spesifik tentang kompetensi dari siswa CI+BI. Secara kelembagaan, belum ada sekolah khusus untuk siswa CI+BI. Meskipun peraturan pemerintah memberikan peluang untuk pendirian sekolah semacam itu, dengan tetap mengedepankan semangat inklusif. Keberadaan program aksel sebagai sarana pengembangan potensi siswa CI+BI merupakan salah satu bentuk kelas inklusi, meskipun ada siswa non CI+BI di dalamnya. Yang terjadi justru sorotan negatif tentang program aksel karena membuat siswa menjadi “teralienasi” dari lingkungannya. Hal ini menjadi alasan sebagian kelompok masyarakat menyarankan program ini dibubarkan Di beberapa sekolah, ditemukan bahwa program aksel merupakan “produk” yang menjadi daya jual sekolah yang bersangkutan. Bahkan ada ditemukan, seluruh siswanya adalah peserta program aksel, meskipun tidak memenuhi kriteria untuk itu. Alasan menerima siswa non CI+BI dalam program aksel lebih didasarkan untuk menekan unit cost. Di sisi lain, maraknya pemberian label “sekolah bertaraf internasional”, menjadikan progam aksel mulai ditinggalkan. Kebijakan penerapan SKS juga dikemukakan alasan menjadikan aksel dapat digantikan. Hal ini disebab siswa boleh mengambil kredit lebih banyak jika memiliki kemampuan untuk itu. Dari aspek ketenagaan, Guru yang mengajar di program aksel tidak disiapkan secara khusus. Lebih jauh bahkan tidak ada kriteria tertulis, prasyarat guru yang dapat mengajar di sana. Di beberapa tempat ditemukan, guru yang mengajar menggunakan sistem arisan. Artinya mereka berganti-ganti sebagai pengajar di program aksel. Di tempat lain, ditemukan menurunnya semangat/etos kerja pengajar program aksel yang menuntut tambahan insentif, karena harus mengajar di program aksel. Akibatnya, sekolah yang tidak dapat mengakses dana dari masyarakat atau subsidi, mulai kewalahan untuk melanjutkan program Dari aspek pembelajaran, proses yang terjadi di dalam dan di luar kelas, masih menekankan pada pencapaian daya serap materi. Hal ini mengakibatkan siswa aksel menerima beban lebih berat karena penyelesaian studi yang lebih cepat. Akibatnya model pembelajaran yang digunakan juga tidak berbeda dengan siswa reguler. Sementara itu pemanfaatan ICT dalam proses pembelajaran juga relatif terbatas, karena kemampuan guru dalam bidang itu juga terbatas Dari aspek penilaian, Hasil akhir kelulusan siswa program aksel juga tetap mengacu pada UN siswa reguler. Keadaan ini “memaksa” sekolah untuk memfokuskan kembali siswa aksel pada semester akhir untuk menghadapi UN. Hal ini juga mendorong orang tua siswa dan pihak sekolah menggunakan jasa bimbel agar anaknya lulus. Di sisi lain, ditemukan adanya program remedial bagi siswa CI+BI yang “seolah” menjadi paradoks bagi program ini sendiri Dari aspek kesiswaan, belum semua siswa dengan kualifikasi very superor yang memperoleh layanan atau mengakses program aksel. Akibatnya siswa-siswa tersebut jadi “siswa biasa”. Hal ini dapat mengakibatkan potensi siswa CI+BI menjadi mubazir. Sedangkan potensi lain siswa kelas aksel tidak dapat berkembang secara optimal karena beban belajar akibat percepatan Dari aspek kelanjutan studi, relatif terbatas perguruan tinggi yang memberi kemudahan akses bagi siswa CI+BI untuk masuk. Akibatnya banyak siswa CI+BI, terutama yang menang olimpiade, ditawari untuk melanjutkan studi oleh perguruan tinggi luar negeri dengan beasiswa dan bahkan mendapat perlakuan setara dengan warga negara yang bersangkutan. Di sisi lain, siswa CI+BI yang memiliki keterbasan ekonomi juga tidak dapat melanjutkan studi, karena makin mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi. Dengan memahami berbagai masalah di atas, maka penyelenggaraan pendidikan khusus untuk siswa CI+BI yang selama ini dilayani dalam bentuk program aksel perlu dilakukan pembenahan. Pembenahan yang dilakukan mencakup seluruh aspek penyelenggaraan pendidikan itu. Salah satu upaya pembenahan adalah dengan melibatkan semua pihak terkait untuk melakukan pembenahan tersebut. Hal ini menjadi penting, karena selama ini sekolah-sekolah penyelenggara aksel berjalan sendirian dan sebatas menjadi operator kebijakan. Dalam konteks tersebut, pada bulan Desember 2007, dibentuklah Asosiasi CI+BI, yang melibatkan unsur perguruan tinggi (MIPA, Psikologi, Seni, Olahraga, Pendidikan), sekolah-sekolah aksel, kelompok masyarakat (lembaga seni, olahraga, program keberbakatan) serta perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Direktorat PSLB. Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Pendidikan Khusus Untuk Siswa Cerdas/ Berbakat Istimewa, untuk selanjutnya disebut Asosiasi CI+BI dibentuk pada tanggal 11 Desember 2007 di Semarang untuk jangka waktu yang tidak ditentukan dan berkedudukan di Jakarta Pembentukan dilakukan oleh perwakilan dari unsur sekolah penyelenggara program aksel, perguruan tinggi yang memberikan pendampingan program di sekolah penyelenggara aksel, dan unsur pendukung yang antara lain mencakup Direktorat PPKLK DIKDAS, Dinas Pendidikan, PP Iptek TMII Jakarta, Pusat Pembibitan Saintis Muda dan sebagainya. Asosiasi CI+BI bersifat independen yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan khusus bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Hasil penelitian dari Balitbang Depdikbud (1986) dan Council of Curriculum Examinations and Assessment(2006) menyebutkan bahwa seorang anak cerdas istimewa dapat mempunyai beberapa dari ciri-ciri berikut ini:
|
CI-BI
Advertisements